Sejarah Seni Domyak

Domyak Seni Pertunjukan Khas Masyarakat Pasirangin

Domyak Seni Pertunjukan Khas Masyarakat Pasirangin


Pada kesempatan kali ini saya mengunjungi Desa Pasirangin, Kecamatan Darangdan, Kabupaten Purwakarta. Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan sukatani di utara, Plered di barat, Bojong di timur, dan Kabupaten Bandung Barat di selatan. Letak geografis Desa ini berada di kaki gunung Burangrang dengan lanskap pesawahan dan perkebunan teh terbentang dari utara hingga selatan. Selain itu, karena letaknya di kaki gunung dan dapat dikatakan daerah lembah, maka tak heran jika desa tersebut memiliki cuaca yang sejuk. Produksi angin di desa inipun relatif tinggi, sehingga masyarakat sekitar memiliki kebiasaan membuat kolecer (alat penentu arah mata angin). Oleh karena itu, desa ini berbeda dari segi cuaca dengan desa lainnya di Purwakarta yang cenderung bercuaca panas.


Walaupun faktor cuaca menjadi keunggulan Desa Pasirangin, namun karakteristik tanah daerah tersebut tidak begitu menguntungkan. Dikutip dari laman ppejawa.com bahwa karakteristik tanah gunung Burangrang yang termasuk pegunungan struktural blok jalur selatan jawa, masuk kategori tanah Latosol dengan ketebalan 20-40cm. Artinya, tanah tersebut relatif miskin hara, apalagi pada musim kemarau akan mengalami kekurangan air. Maka, lahan hanya dapat dimanfaatkan sebagai hutan konservasi dan hutan lindung. Dari kenyataan tersebutlah masyarakat Desa Pasirangin ketika musim kemarau tahun ini sedang kesulitan air bersih, bahkan ketika saya berkunjung pun masyarakat harus membeli air. Biasanya air bersih untuk kebutuhan sehari-hari didapat dari truk-truk pengangkut air.


Tidak heran jika kita berkunjung ke Desa Pasirangin anda sekalian akan menemukan hal unik lainnya selain kolecer, yakni seni pertunjukan domyak. Kesenian yang lahir dari sejarah, letak geografis, dan kebiasaan masyarakat Desa Pasirangin serta mendapat pengaruh budaya Banten dan China yang tetap menunjukan eksistensinya hingga saat ini. Domyak adalah akronim dari ngadogdog bari ngarampayak (memukul alat musik dog-dog sambil menari mengikuti irama). Sebelumnya nama kesenian ini bukanlah domyak namun "kesenian ini bernama buncis dan berganti nama menjadi domyak setelah terjadi pemekaran daerah Nangewer tahun 1980" tutur Mohamad Chandra Irfan seorang mahasiswa yang tengah meneliti kesenian tersebut ketika saya temui di Balai Desa. Pendiri kesenian ini adalah Mama Nuriya yang pada tahun 1920 mulai memperkenalkan buncis pada masyarakat sekitar. Kata buncis diambil dari salah satu jenis sayuran. "Pada masa Kolonial Belanda masyarakat Desa Pasirangin mengalami kesulitan pangan, sehingga buncis menjadi salah satu makanan pokok masyarakat Pasirangin" tutur Abah husein salah satu pelaku kesenian domyak generasi kedua setelah Abah jumanta. Kesenian buncis sendiri hanya terdiri dari satu alat musik yakni angklung buncis. Berbeda dengan angklung pada umumnya, angklung buncis memiliki dua kubah diatasnya. Selain itu, ukurannya yang relatif sedang


 


Perubahan nama buncis menjadi domyak


Untuk selanjutnya kesenian ini diteruskan oleh Abah Jumanta dengan membawa semangat kesenian pendahulunya. Jumanta adalah seorang pengelana yang menimba ilmu di daerah Banten. Ia menimba ilmu pada seorang guru bernama Peing. Padanya Jumanta belajar tentang seni tradisional China. Salah satu mata-ajar yang menjadi fokus Jumanta ialah seni bela diri (penca) Tao Chang. Setelah selesai berguru Jumanta mulai mendirikan kelompok kesenian di daerah Pasirangin meneruskan dan mengembangkan peninggalan pendahulunya yang pernah eksis di masyarakat sekitar.


Abah Jumanta melakukan beberapa inovasi pada seni pertunjukan buncis mulai dari memasukkan barongsai sampai debus. Selain itu, menurut Abah Husein pada periode 1950an Abah jumanta memasukkan beberapa alat musik sebagai pelengkap seperti dog-dog, kempul, kendang, nengnong, bedug, terompet, dan kecrek lengkap dengan sinden. Setelah melakukan inovasi tersebutlah kesenian ini berubah nama menjadi domyak "sekitar tahun 1960-70an" tutur Abah Husein. Akronim tersebut disesuaikan dengan inovasi yang dilakukan oleh Jumanta ketika itu dan disesuaikan pula oleh kebutuhan masyarakat sekitar akan jenis hiburan baru.


Domyak pun tidak lepas dari kegiatan 'pesanan' mulai dari acara pernikahan sampai acara kedaerahan seperti undangan dari Bupati setempat. Hal ini merupakan strategi yang dilakukan agar seni pertunjukan domyak tetap esksis. Selain itu, strategi semacam ini dilakukan untuk menghidupi para pelakunya.


Peralihan dari sakral menuju profan


Ada ciri khas dari domyak selain angklung buncis yakni gendingnya yang mengutamakan unsur bunyi pada instrumen kendang. Selain itu, alat musik kempul menjadi pusat dari irama seni pertunjukan domyak. "Bahkan kempul dapat dikatakan benda yang sakral oleh masyarakat sekitar" tutur Chandra Irfan. Hal ini bermula dari kebiasaan masyarakat sekitar mempergunakan domyak sebagai medium mapag hujan (menjemput hujan). Dalam kesenian ini terdapat satu ritual penjemputan hujan yang berlangsung di pedalaman hutan Burangrang, dengan terlebih dahulu berjalan puluhan kilometer menuju hulu cai (mata air) sambil 'arak-arakan' memainkan alat musik. Menurut Kang Yosi salah satu tokoh masyarakat Desa Pasirangin "seluruh pemuka dari berbagai agama dan tokoh adat hadir serta melakukan ritual menurut caranya" adapun "Hal ini bagian dari pembuka sekaligus mohon izin kepada nenek moyang" lanjutnya. Setelah itu, mereka mulai dengan belok-belokan (saling membasuh, menjilat, melempar lumpur di antara sesama mereka baik pemain maupun penoton) yang merupakan simbol masyarakat agraris. "Ini dilakukan hanya untuk mengingatkan kepada masyarakat bahwa identitas mereka adalah petani" tutur Chandra Irfan. Kemudian ngaibakan ucing (memandikan kucing) dengan air yang telah diberi doa oleh para tokoh agama dan adat. Cara memandikan kucing disini tidak diguyur, namun kucing tersebut "didorong ke air yang mengalir (sungai) ketika kucing lari siapa saja boleh dorong kesana sampai dia basah" tutur Abah Husein. Konon menurut masyarakat sekitar hujan akan turun tidak lama setelah kucing selesai dimandikan. Karena kucing tidak suka air, ia diibaratkan tanah yang kering jadi ketika dimandikan kucing tersebut menjadi basah, dengan kata lain kucing adalah tanah kering yang akan basah dan subur oleh air hujan ketika turun dari langit.


Seusai memandikan kucing dilanjut dengan ngambat (kerasukan ruh halus) yang meliputi babagongan, seseroan, dan momonyetan. Ketiga peristiwa ngambat tersebut memiliki ciri khas tersendiri, jika seseorang yang menjadi syaman (medium) yang menghubungkan imago mundi (gambaran dunia) antara dunia tengah (manusia) dengan dunia atas (dewa) dan bawah (siluman) dirasuki ruh bagong (babi) ia akan lari ke kebun mencari rerumputan untuk dimakan. Apabila syaman dirasuki oleh ruh monyet ia akan lari ke kebun mencari pisang. Lalu, akan berbeda pula jika ruh yang menghinggap itu adalah sero maka ia akan menuju kolam mencari ikan. Ini adalah prosesi akhir dari alur seni pertunjukan domyak. Dengan kata lain, seorang syaman menjadi representasi kesuburan sekaligus penjemputan rezeki yang telah dihasilkan tanah ketika dibasahi air hujan.


Seiring perubahan jaman dengan segala macam properti penunjangnya, kesenian ini mulai tersisih dari sulitnya mencari lahan garapan sampai tidak adanya infrastruktur baik alat-alat musik maupun tempat berlatih. Kesulitan ini ditambah dengan stigma negatif masyarakat, terutama kalangan masyarakat dengan latar belakang agamis yang kental. Pada akhirnya terdapat larangan kepada anak-anak oleh orang tua mereka untuk menonton atau menjadi bagian dari seni pertunjukan tersebut. "Kata sebagian orang seni ini dianggap musrik (bid'ah)" menurut Abah Husein. Dampak dari larangan tersebut kesenian ini sempat vakum selama sepuluh tahun. Pada tahun 2010 seni pertunjukan domyak kembali hadir di tengah masyarakat berkat program revitalisasi seni domyak. Dengan demikian, seni pertunjukan domyak kembali mengembangkan diri disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan mencoba menangkal stigma negatif masyarakat. Tentu saja, peralihan ini menjadikan domyak hanya sebatas seni hiburan yang sifatnya profan, adapun ritual seperti dahulu itupun hanya sekadarnya saja. Dari hasil revitalisasi inilah seni pertunjukan domyak "Alhamdulillah kami bisa membuka ekstrakulikuler di sekolah dasar dan menengah sebagai usaha pelestarian" tutur Kang Yosi yang merupakan salah satu pengajar dan peserta revitalisasi seni pertunjukan domyak.


Pada saat ini, semangat berkesenian domyak menjadi sebuah kebutuhan masyarakat Desa Pasirangin. Hal ini terbukti oleh kehadiran pelaku-pelaku generasi kedua setelah Abah Jumanta yang masih eksis seperti Abah Husein, Mang Tata, Ma Ikah, Ma Hana, dan Mang Kana salah seorang cucu Abah Jumanta yang spesial, karena memiliki kepekaan musik di atas rata-rata pemain lainnya walaupun ia tidak mampu mendengar dengar baik, ini seperti Beethoven dalam tradisi musik barat. Selain itu, kehadiran sesepuh ini senantiasa didampingi oleh para pemuda sehingga terjalin komunikasi antar generasi dalam praktik berkeseniannya. Ini adalah langkah konkret untuk mengembangkan kearifan lokal kita, karena dengan begitu kita bisa menjadi masyarakat yang mengetahui akar-budaya dan memetik pucuk Tehperadaban kita sendiri. Sebab kearifan lokal menurut Anna Tsing dalam makalah ilmiah Matthew Isaac Cohen dengan judul Local wisdom, Modernity, and the Arts in colonial Indonesia dapat diartikan words in motion. Artinya, sebuah kebudayaan bersifat dinamis mengikuti arus jaman pun menuntut perubahan dari setiap aspeknya

Kang Yosi ( 081282324480 )

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SMKN 1 Darangdan Bagikan Takjil Gratis di Bulan Ramadhan : Wujud Kepedulian dan Kebersamaan

Kebersamaan Siswa SMKN 1 Darangdan dalam Tradisi Makan Bersama Menjelang bulan Ramadhan

SMKN 1 Darangdan Gelar Ujian Kompetensi Keahlian (UKK) Program Teknik Otomotif