Menari di Antara Dua Dunia: Kisah Guru Honorer dan Seni Tradisi Domyak"

Di sebuah desa kecil yang dikelilingi sawah dan pepohonan rindang, hiduplah seorang guru honorer bernama Raka. Ia mengajar di sebuah sekolah menengah pertama dasar dengan semangat yang tak pernah pudar, meskipun gajinya jauh dari cukup. Baginya, melihat anak-anak desa bisa membaca dan menulis adalah kebahagiaan yang tidak bisa diukur dengan uang.

Suatu hari, saat pulang dari sekolah, ia melewati sebuah balai desa dan mendengar suara goong, angklung mengalun lembut, berpadu dengan hentakan kaki yang berirama. Rasa penasaran membawanya mendekat. Di sana, ia melihat sekelompok penari tua dan muda sedang berlatih Domyak, sebuah tarian tradisional yang mulai jarang dikenal.

Seorang lelaki tua dengan rambut memutih menyapanya, "Nak, kau tertarik dengan Domyak?"

Raka mengangguk. Lelaki itu adalah Abah Jumanta seorang maestro Domyak yang sudah menari sejak muda. Dengan penuh semangat, bah Jumanta bercerita tentang sejarah Domyak—tentang bagaimana tarian ini dulu menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, tentang gerakannya yang dinamis, serta filosofi yang tersimpan di balik setiap langkahnya.

Hari itu, Raka menyadari sesuatu: Domyak bukan sekadar tarian, tetapi bagian dari identitas budaya yang hampir terlupakan.

Sejak saat itu, setelah selesai mengajar, Raka mulai mencari asal usul dan tempat berlatih seni Domyak itu yang dulu namanya Seni Buncis. 

Suatu hari, ia mendapat ide. "Bagaimana kalau aku mengenalkan Domyak ke anak-anak sekolah?" pikirnya.

Tahun 2012 sang guru di percaya untuk meneliti asal usul mengenai sepak terjang seni tradisi Domyak tersebut dalam program pelestarian seni yang hampir punah yaitu untuk kabupaten purwakarta adalah seni Domyak. 

(Bersambung)